Barangkali teman-teman di sini belum tahu kalau saya mengidolakan Trevor Noah, seorang komika asal Afrika Selatan dan mantan pembawa acara The Daily Show. Buat saya, Trevor itu cerdas dan berwawasan luas. Pendapat itu saya buat setelah saya menyaksikan lawakan tunggalnya (stand-up comedy) yang ada di Netflix. Seringkali ide-ide dan pemikirannya di luar dugaan yang acapkali membuat saya bergumam, "Shoot, bisa saja nih orang berpikir seperti ini."
Saya sudah membaca buku otobiografinya, yang pernah saya buat nukilannya di sini. Saya pun semakin mengidolakannya. Tulisannya mengalir lancar dan enak dibaca. Isi bukunya menceritakan bagaimana pengalaman hidupnya tumbuh dewasa di Afrika Selatan dengan rasisme, yang kalau Trevor bilang rasisme di sana merupakan rasisme nomor satu di dunia dan rasisme di Amerika itu tidak ada apa-apanya. Saya suka bagaimana dia menulis hidupnya yang penuh warna—pahit, getir, sedih, bahagia—tetapi dia membuatnya dengan nada humoris seolah itu semua hanyalah sebuah lawakan. Barangkali alasan utama saya menyukai dia adalah karena saya cocok dengan tema sosial yang sering menjadi topik dalam lawakan tunggalnya, juga bagaimana dia mengkritik.
Lalu, saya mendengar Trevor memiliki siniar (podcast) yang diberi nama What Now? with Trevor Noah. Tentu saja saya segera mengikuti siniarnya di Spotify. Karena berbagai macam alasan yang saya punya, saya baru bisa rutin mendengarkan siniarnya sekitar satu atau dua minggu terakhir ini. Saya putar siniarnya untuk menemani saya melakukan rutinitas di pagi hari sebelum berangkat ke kantor (termasuk memakai skincare dan berdandan), pada saat menunggu dan selama di KRL menuju kantor, atau pada saat saya mengkristik. Setelah rajin mendengarkan siniarnya, saya semakin mengidolakan Trevor. Saya menghargai bagaimana dia memperlakukan semua bintang tamunya di setiap episode, yaitu dengan penuh hormat, tanpa penghakiman, dan penuh empati.
Ada satu episode di What Now? yang sebenarnya membuat saya menulis posting ini setelah tujuh bulan saya hiatus dari blog. Saya lupa apa tepatnya judul dari episode tersebut, tetapi yang saya ingat—dan membuat saya terkesan—adalah ketika Trevor bertanya ke bintang tamunya yang kira-kira begini, "Kita selalu mengingat hal yang jelek dari orang tua kita, apa yang mereka lakukan terhadap kita. Namun, saya tidak mau menanyakan itu. Apa yang ingin saya tanyakan ada tidak ajaran dari orang tuamu yang kamu ingat dan sangat membekas hingga membentukmu menjadi sekarang?"
Saya tahu pertanyaan itu tidak ditujukan kepada saya, tetapi saya ingin menjawabnya.
Well, Trevor, untuk menjawab pertanyaanmu apa yang orang tua—tepatnya ayah saya—ajarkan dan sangat saya ingat adalah berbagi. Sepanjang usianya, ayah saya sangat rajin berbagi dan bersedekah kepada siapa saja. Kepada keluarga dekat, saudara jauh, teman, tukang becak, pokoknya siapa saja. Ayah saya mencontohkan langsung kepada saya melalui tindakan, bukan dengan ceramah atau kata-kata mengapa kita harus berbagi dan bersedekah. Dan saya melihat itu sejak saya kecil sehingga sangat tertanam di otak saya.
Tumbuh dewasa, tanpa saya sadari, bahwa saya ternyata juga mengikuti "hobi" ayah saya itu: berbagi. Senang rasanya ketika saya mentraktir Mama, kakak, dan keponakan makan enak. Atau, hanya sekadar membelikan jajanan buat teman-teman, OB, atau security di kantor. Atau, memberikan hadiah. Ada perasaan bahagia—yang entahlah susah dijelaskan—setiap kali saya bisa berbagi pada orang lain meski yang saya bagi juga tidak banyak. Untuk itu, saya harus berterima kasih kepada ayah saya. Karena ayah saya mengingatkan saya bahwa di dalam harta saya ada hak orang lain dalam hal apapun konteksnya: untuk menjalin silaturahmi, untuk membuat orang lain bahagia, untuk menolong.
Jadi, terima kasih ya, Papa.
wah, indah sekali. semoga kita selalu diberikan rejeki apapun itu untuk saling berbagi...amin!
ReplyDeleteAmin amin amin!
Delete